Kamis, 07 April 2011

Puisi “TEROMPAH NABI MUSA” | Karya Anwari WMK

Puisi Karya
Anwari WMK

TEROMPAH NABI MUSA

Kitab I: Purba

Di Gunung Sinai itu engkau bercakap dengan Tuhan.
Segala resah manusia tiba-tiba melingkupi seluruh topografi Sinai.
Engkau membincangkan hidup manusia yang banal.
Engkau ungkapkan tabiat manusia yang binatang.
Engkau seperti melapor kepada bos besar.

Tuhan memahamimu Musa, hingga ke puncak resah paling resah.
Tuhan memahamimu Musa, ihwal konyol daif kaum Bani Israel.
Tuhan memahami keluh kesahmu Musa, ihwal puspa ragam keculasan manusia yang kau sebut umat itu.

Kitab II: Kini

Beribu tahun sudah, berlalu dialog di Gunung Sinai itu.
Tapi kami masih menatap terompahmu Musa, yang kini malah berkisah tentang sebuah negeri penuh karunia.
Terompahmu bercerita kepada kami, tentang optimisme penduduk di sebuah negeri bernama Indonesia.

Begini cerita terompahmu:
“Indonesia itu karunia Tuhan tiada terkira.
Di atas tanah Indonesia tumbuh pohon sawit, pohon jarak yang buahnya dapat diperas menjadi minyak.
Di bawah tanah Indonesia tersimpan minyak bumi, gas, geotermal, emas batubara.
Di sepanjang musim, matahari terus mencorong tanpa lelah.
Semua itu lebih dari cukup bagi penduduk suatu negeri bernama Indonesia untuk senantiasa optimistis.”

Tapi seekor elang Jawa turut bersahut kalam, lalu nyaring berkata-kata:
“Wahai terompah Nabi Musa, di negeri bernama Indonesia itu luka hari selalu mengucap perih sedalam perigi.
Rakyat cuma penonton untuk karunia yang diperebutkan.
Rakyat hanya mengais remah dari karunia tiada terkira.
Dan deru mesin ketidakadilan terus bergemuruh.”

Mendengar suara elang Jawa, terompah Nabi Musa pun menjawab:
“Ya, peminpin di negeri bernama Indonesia menumpuk-numpuk dungu dan bersembah sujud pada kepandiran.
Sudah semestinya bagi kalian penduduk negeri Indonesia mengadukan pemimpin kalian kepada Tuhan.
Saatnya bagi kalian berkata-kata kepada Tuhan, seperti Nabi Musa telah berkata-kata kepada Tuhan di Gunung Sinai.
Hai kalian penduduk negeri Indonesia, tak boleh kalian kehilangan optimisme, hanya karena dari saat ke saat berhadapan dengan gerombolan pemimpin dungu.
Berkatakalah kalian kepada Tuhan.
Berkatalah.
Seperti Musa telah berkata-kata.”

Kitab III: Mendatang

Elang Jawa, sekali lagi berkata melalui seuntai tanya:
“Waktu terus bergegas menuju kaki langit masa depan.
Bagaimana mungkin masih harus bersabar mengikuti jejak langkah pemimpin buta arah mata angin?”

Terompah Nabi Musa masih jua menjawab:
“Walau dungu, terima untuk sementara waktu pemimpin kalian.
Sembari itu, jangan pernah kalian berputus rahmat Tuhan.
Terus panjatkan harap, agar Tuhan segera mengirimkan pemimpin yang sesungguhnya pemimpin.
Pemimpin yang paham jiwa batin kalian.”

Wahai Nabi Musa, terompahmu telah berucap kata.
Telah.

Jakarta, Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar