Minggu, 28 April 2013

Puisi "DAWAI AIRMATA" | Karya Anwari WMK

DAWAI AIRMATA

sebongkah hati
tertinggal di sebuah kota
dia yang hendak pergi
pelan berkata-kata:
"selamat tinggal"

sebongkah hati
membisu tanpa kata
tak kuasa menegak purna
keindahan kidung sukma
maka, ranum senyumnya
sontak bersketsa senja
berubah menjadi setangkai
getar-gemetar jiwa

sekali lagi, berkatalah
dia yang hendak pergi:
"selamat tinggal"

sembari melambai,
masih berkata-kata
dia yang hendak pergi:
"selamat tinggal,
selamat tinggal
adinda"

lalu,
setangkai getar-gemetar jiwa
berdawai airmata
menyentak hentikan terbang
burung-burung kecil

inilah senandung takdir
untuk sendu adinda
begitulah nyanyian takdir
berdawai airmata

dan kini,
dawai airmata
bertetesan
berjatuhan
di hampar pelataran
stasiun kereta

ooh . . . . .
betapa manisnya cinta
meski bentangan jarak
kembali mengabadikan
sepi tertikam rindu

(Purwokerto, 28 April 2013)

ANWARI WMK

Rabu, 24 April 2013

Catatan Pendidikan "SOLUSI EDUKATIF KEBANGSAAN" | Karya Anwari WMK

SOLUSI EDUKATIF KEBANGSAAN

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

SEBAGAI bangsa, ternyata Indonesia dibelit oleh begitu banyak masalah. Dari dunia persepakbolaan hingga politik kekuasaan, belitan masalah itu pun rumit tak berujung pangkal. Seakan, Indonesia merupakan ensiklopedi masalah-masalah. Sehingga, tak mengada-ada jika lalu muncul gagasan untuk menemukan solusi alternatif dengan berpijak pada spirit edukatif. Dalam konteks ini, sengaja dilakukan upaya penelisikan: Bagaimana dunia pendidikan dilibatkan secara serius untuk turut serta mengatasi masalah kebangsaan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan sebuah ranah kehidupan yang masih bening saat menyimak dan menyibak kemelut kebangsaan. Meski pun di sana-sini bertaburan hipokritas, toh dunia pendidikan masih lebih jernih mencerna masalah-masalah kebangsaan. Pendidikan jelas merupakan mercusuar optimisme yang potensial mengubah masalah kebangsaan menjadi tantangan yang musti dituntaskan.

Hal penting yang patut dicatat jika pendidikan sengaja diperlakukan sebagai bagian dari solusi masalah kebangsaan adalah perspektifnya yang spesifik. Manakala disimak berdasarkan perspektif edukatif, maka masalah kebangsaan terbagi menjadi dua kategori pokok.

Pertama, masalah kebangsaan terkait dengan rendahnya daya saing nasional dalam era globalisasi kini. Padahal, implikasi serius yang ditimbulkan oleh rendahnya daya saing nasional adalah memburuknya kesejahteraan rakyat. Di tengah hantaman globalisasi yang tak mengenal belas kasihan, rakyat justru tak memiliki pegangan untuk mempertahankan eksistensinya. Ketiadaan daya saing sama dan sebangun maknanya dengan pemunahan secara pelan perlahan eksistensi rakyat.

Kedua, masalah kebangsaan terkait erat dengan format kebijakan negara. Tak dapat dipungkiri, kebijakan negara tidak aspiratif manakala disimak berdasarkan sudut pandang kedaulatan rakyat. Kebijakan demi kebijakan terus-menerus diproduksi oleh kuasa politik pada berbagai lini. Tapi tragisnya, kebijakan itu tak berpihak pada rakyat banyak. Konyolnya lagi, kebijakan-kebijakan dilahirkan semata sebagai kelanjutan logis dari kepentingan elite-elite politik. Ini merupakan akibat langsung dari realisme politik kontemporer yang sepenuhnya bercorak transaksional. Itulah sesungguhnya politik "wani piro".

Dengan memerhatikan dua kategori masalah tersebut, maka dunia pendidikan pun mampu meneropong potensialitas kebangsaan yang terserak ke berbagai arah. Potensialitas kebangsaan dimaksud adalah beragamnya kelompok masyarakat madani yang menguasai situasi riil kemasyarakatan. Potensilitas kebangsaan yang lain adalah masih terpeliharanya spirit pengorbanan dalam hati sanubari rakyat bangak.

Bertitik tolak dari semua itu, maka upaya saksama yang lantas niscaya dilakukan dunia pendidikan adalah mengembangkan berbagai macam kerangka edukasi tentang politik representasi. Tujuannya, agar formasi keanggotaan parlemen diisi oleh elemen-elemen potensialitas kebangsaan, yang memang diupayakan oleh dunia pendidikan. Substansi pendidikan diberi bobot yang lebih besar untuk turut serta melahirkan figur-figur mumpuni yang kelak berkiprah di parlemen. Proses edukasi lalu diwarnai oleh menguatnya pendidikan kebangsaan.

Selain itu, niscaya bagi dunia pendidikan mengajarkan seluk beluk kebijakan negara yang mengacu pada kebenaran hakiki. Dengan "kebenaran hakiki" berarti, kebijakan negara dirumuskan untuk tujuan pokok agar postur dan sukma kebijakan negara sepenuhnya responsif dan adaptif terhadap aspirasi publik. Maka, harus lahir dan terbentuk apa yang disebut "kebenaran aspiratif publik".

Dengan metode penyampaian secara sederhana, mudah dimengerti dan gampang dicerna, maka berbagai hal yang dikemukakan di atas optimis dapat diwujudkan dalam ranah pendidikan. Jika praksis pendidikan benar-benar berwatak solutif seperti dikemukakan di atas, maka itulah sesungguhnya pendidikan karakter. Artinya, pendidikan membentuk manusia-manusia berkarakter dalam resonansinya dengan solusi masalah kebangsaan.

Tantangan berikutnya lalu kembali pada dunia pendidikan itu sendiri. Bersediakah dunia pendidikan menjawab tantangan ini?[]

Selasa, 23 April 2013

Puisi "PELANGI NEGERI HANTU" | Karya Anwari WMK

PELANGI NEGERI HANTU

Wahai Tuan Putri,
Semoga engkau senantiasa tabah
Mencerna kisah cadas baladaku
Tentang gulita abadi kota hantu

Koran-koran terus berteriak
Membeber segenap koyak
Sebab gema kata di istana kuasa
Menyebut butiran pasir sebagai beras

Hari ini pelangi melukis langit
Memantik pesona keharibaan jiwa
Gerombolan dekil kaum miskin
Berselendang mimpi bianglala

Engkau tahu, Tuan Putri
Kini berkarung-karung pasir
Ditabur ke wajah kaum miskin
Hingga pelangi itu tak pernah lagi
Kasat mata

Tuan Putri, kini jiwaku
Tak hanya menangisi dirimu
Tapi juga menangisi negeriku
Negerimu

(2013)

ANWARI WMK

Catatan Pendidikan "SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL" | Karya Anwari WMK

SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Jubilee School, Sunter, Jakarta

HINGGA kini, tak habis-habisnya ruang publik disuguhi pemberitaan pers tentang penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara. Paling tidak sejak era pasca-Orde Baru, penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara tersebut telah sedemikian rupa mencuat sebagai fenomena. Para pejabat negara tampak hebat dan dahsyat saat berada di atas panggung penerimaan gelar honoris causa. Ruang publik benar-benar diwarnai tontonan betapa sempurnanya eksistensi pejabat negara itu setelah meraih gelar honoris causa.

Tapi, di sini, mencuat problema eksistensial, yaitu seberapa jelas dan konkret hubungan antara gelar honoris causa pada satu sisi dan karya-karya akademik yang maslahat bagi kehidupan pada lain sisi. Apa yang terjadi jika para pejabat penyandang gelar honoris causa itu ternyata tak menyumbang apa-apa terhadap besarnya kebutuhan lahirnya karya-karya akademik yang maslahat? Bagaimana jika ternyata gelar honoris causa itu hanyalah simbolik belaka?

Tentu saja, tak ada yang keliru dengan simbol-simbol. Sebagai homo kultural, manusia takkan pernah bisa lari dari simbol-simbol. Sejalan dengan sensibilitas kultural, manusia membutuhkan simbol-simbol. Dalam tilikan kultural, teridentifikasi begitu banyaknya satuan-satuan simbol yang dibutuhkan sebagai penanda eksistensi manusia. Cuma saja, sekali pun tergolong mahal, hakikat dari simbol itu hanyalah pelengkap eksistensi semata. Tak lebih dan tak kurang.

Secara kategoris, simbol senantiasa ekuivalen dengan bentuk, dan substansi analog dengan isi. Masalahnya kini, muncul desakan untuk dengan segera melakukan transformasi kebangsaan. Dalam perubahan-perubahan besar abad XXI, para pejabat negara nyata-nyata diperhadapkan dengan pilihan logis-rasional. Bagaimana eksistensi mereka mencuat ke permukaan dengan lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol. Eksistensi pejabat negara pada abad XXI, lebih terkait dengan isi ketimbang bentuk.

Pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan logis. Lebih pentingnya isi ketimbang bentuk sesungguhnya berkaitan erat dengan keniscayaan Indonesia sebagai bangsa besar yang seharusnya mandiri. Besarnya kekayaan sumber daya alam dan besarnya jumlah penduduk merupakan faktor unggulan yang memungkinkan Indonesia sepenuhnya mandiri sebagai bangsa. Tapi kita tahu, selama ini faktor sumber daya alam dan demografi tak terkelola baik. Bahkan, dua faktor itu terbengkalai semrawut hingga lalu dirasakan sebagai kutukan dan beban.

Kuasa politik feodalistik merupakan penyebab pokok terbengkalainya dua faktor unggulan itu. Pada satu sisi, kuasa politik feodalistik terus-terus memosisikan rakyat semata sebagai pelengkap penderita pada keseluruhan relasi kekuasaan. Pada lain sisi, kuasa politik feodalistik lebih merasa absah manakala digdaya tampil di hadapan publik dengan mengutamakan simbol-simbol ketimbang substansi. Pelayanan publik yang tak pernah mumpuni justru lalu membuncah menjadi situasi umum yang tak memungkinkan pejabat negara trengginas dan cekatan melayani rakyat meraih kesejahteraan.

Implikasi strategisnya tampak mencolok pada tak adanya kerangka dan skema inovasi. Tata kelola masyarakat, pemerintahan dan perekonomian tak tersentuh inovasi. Kalau pun makna penting inovasi terus dipidatokan, inovasi ternyata berjalan tanpa landasan filosofi dan tanpa kejelasan arah menggapai kesejahteraan rakyat. Inovasi pun terjebak ke dalam orientasi simbolistik yang sama sekali tak substantif.

Situasi tak menguntungkan itu diperparah oleh timbulnya fenomena honoris causa. Para pejabat negara penerima gelar honoris causa sudah merasa cukup dengan gempitanya seremoni penganugerahan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, misalnya, selama sembilan tahun terakhir telah menerima tujuh gelar honoris causa. Tapi sayang seribu sayang, sang presiden masih terjebak ke dalam pusaran simbolisme.[]

Senin, 22 April 2013

Puisi "AMARAH" | Karya Anwari WMK

AMARAH

Di radio, suara-suara amarah
Sengit saling bercabik ranah
Kritik bertabur-baur caci-maki
Menggugat laku kuasa nirnurani

Aku hanyalah pendengar sunyi
Retas tanpa selipat ucap
Hingga malam merebah bumi
Gagap berkawan gagasan pengap

Secangkir kopi telah pahitkan kelu
Saat lidah sepenuhnya pena
Resah merapal segenap pilu
Dalam genggam jemari gulana

Sungguh, aku pun terkobar amarah
Mencerna laku pemimpin pongah
Tapi pena terdekap jemari lemah
Memilih senandung sunyi tanah

Dan di radio itu
Suara-suara terus mengingau
Terpelanting di larik-larik jauh
Kian meruapi pusaran amarah

(2013)

ANWARI WMK

Puisi "SAKSI BIANGLALA" | Karya Anwari WMK

SAKSI BIANGLALA

antara diriku dan dirimu
takkan pernah bisa
menyembunyikan cinta
dari bidikan saksi mata
bianglala

(april 2013)

anwari wmk

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]

Minggu, 21 April 2013

Puisi "KALAM" | Karya Anwari WMK

KALAM

Mungkin
engkau tak pernah tahu
apa gerangan makna
bulu-bulu lembut di keningmu
terhadap kalam-kalamku

Kini kukatakan padamu
dengarlah. simaklah

Pada sela-sela bulu lembut
di keningmu itu
sungguh telah sejak lama
tercecer bait-bait sajak cinta

Bait-bait yang menghiba iba
agar sepenuhnya abadi
bersemayam
di sela-sela bulu lembut
pada keningmu

Mungkin
engkau tak pernah tahu

Bait-bait itu tersulam
bersama senandung sukma
di keheningan jiwa malam
kala batin tergetar pilu
menggenggam kalam

ANWARI WMK

Kamis, 18 April 2013

ILMU PENGETAHUAN DAN KUASA POLITIK

Catatan Pendidikan
Anwari WMK

DALAM realitas hidup umat manusia pada berbagai durasi waktu, kurun dan zaman, peran dan fungsi ilmu pengetahuan sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan diposisikan secara terhormat sebagai faktor fundamental lahirnya kemuliaan umat manusia. Pandangan umum menyebutkan, bahwa dengan berilmu maka seorang manusia menapak tangga kemuliaan. Apalagi, kemunculan teknologi baru dan instrumentasi mutakhir [yang terbukti canggih dan bahkan super canggih] senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan.

Sehebat apapun teknologi dan instrumentasi baru mempengaruhi kehidupan masyarakat, semuanya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa dan negeri-negeri terhormat di dunia juga ditentukan oleh kapasitas rakyatnya menguasai secara mumpuni ilmu pengetahuan.

Sungguh pun begitu, ilmu pengetahuan terbuka dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Pada aspek aksiologi, ilmu pengetahuan diperhadapkan dengan masalah-masalah moral dan etik. Artinya, pendayagunaan ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan cita-cita luhur tegaknya humanisme. Kecenderungan buruk manusia menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai justru acapkali terakselerasikan dengan memanfaatkan secara lancung ilmu pengetahuan. Contohnya, penggunaan secara masif mesin pembunuh masal yang dalam konteks perkembangan teknologi memang lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Pada titik persoalan ini kita sebenarnya diperhadapkan dengan sisi gelap dan sisi buruk ilmu pengetahuan.

Teori Kritis kalangan filosof Mahzab Frankfurt dengan tegas mendedahkan kesimpulan, bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menjadi alat pemukul mengalahkan orang lain demi memenangkan  kuasa politik, kepentingan uang dan gengsi. Itulah mengapa, salah satu faktor penentu keberlanjutan kuasa imperialisme di dunia hingga kini melalui upaya sistematis penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Jika semula ilmu pengetahuan diagungkan sebagai dasar terciptanya kemuliaan manusia, pada akhirnya terbelokkan menjadi tak lebih hanyalah "belati" di tangan pembunuh berdarah dingin yang senantiasa menuntut tumbal pengorbanan. Ilmu pengetahuan yang semula berwajah malaikat, pada akhirnya menyerigai kehidupan umat manusua dengan laku gerombolan iblis.

Dengan menyimak fakta konkret bahwa ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menghancur leburkan humanisme, maka sudah saatnya bagi dunia pendidikan memahami problema yang disuarakan Teori Kritis, persis sebagaimana dirumuskan oleh para filosof Mahzab Frankfurt. Dunia pendidikan dituntut jeli memahami sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan. Metode paling tepat untuk menyingkap sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan adalah mencari kaitan atau saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan kuasa politik. Seberapa akrab hubungan antara kuasa politik dan ilmu pengetahuan, sejatinya dijadikan penanda untuk mendeteksi ada tidaknya sisi gelap ilmu pengetahuan.

Tentu saja, tidak seluruh kuasa politik beroperasi secara lancung dengan menumbuh suburkan upaya-upaya sengaja penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Kuasa politik yang konsisten mewujudkan keadilan, justru mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjunjung tinggi humanisme atau kemuliaan manusia. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini benar-benar mencorong dengan membawa cahaya terang benderang kemanusiaan. Ilmu pengetahuan bukan saja berkedudukan sebagai sumber pencerahan. Ilmu pengetahuan terdedahkan sebagai solusi masalah-masalah kolektif yang tengah dihadapi umat manusia.

Tapi, kuasa politik bengis dan imperialistik merupakan penyebab utama timbulnya problema penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Sebab, realitas hidup kolektif dipandu feodalisme. Tragisnya lagi, feodalisme menggiring kuasa politik sepenuhnya pragmatik dan koruptif. Sejatinya, dunia pendidikan menyadari kenyataan buruk ini. Bahwa bagi kuasa bengis-imperialistik, ilmu pengetahuan didayagunakan hanya untuk melahirkan keburukan yang dirasakan masyarakat secara langsung.[]

Puisi "RINDU DAN AIRMATA" | Karya Anwari WMK

RINDU DAN AIRMATA

meski dengan seribu timbangan
engkau takkan pernah bisa
menakar rinduku kepadamu
sebab rindu itu luas tak bertepi

engkau hanya mampu
menakar airmataku runtuh
di kelopak-kelopak mawar merah
sebab airmata itu mengkristal
menjadi berbait-bait puisi

engkau takkan mampu mengukur
rinduku
engkau hanya mampu menakar
airmataku

airmata rindu, kepadamu

(2013)

ANWARI WMK