Sabtu, 23 Juli 2011

Catatan Kebudayaan | Nomor 4, Tahun 2011 | "Personalitas Politik Anas Urbaningrum"

PERSONALITAS POLITIK ANAS URBANINGRUM

Oleh
Anwari WMK

Pada akhirnya, personalitas politik Anas Urbaningrum tercoreng-moreng. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, personalitas politik Anas sudah demikian remuk redam, kehilangan bentuk. Adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin yang membuat personalitas politik Anas tercoreng-moreng. Sehingga, episode selanjutnya dari keberadaan Anas di belantika politik nasional ikut ditentukan oleh penyingkapan Nazaruddin terhadap sisi buruk Anas dalam hubungannya dengan Partai Demokrat.

Jauh sebelum mencuat kisruh dalam tubuh Partai Demokrat, Anas dikenal sebagai politikus muda yang santun. Terekspresikan dengan sangat jelas, ia bukan tipikal aktor politik dengan tendensi bicara meledak-ledak. Ia tampak rapi berucap kata saat berargumentasi di ruang publik. Anas bahkan terkesan dingin saat merespons secara verbal persoalan-persoalan politik di tingkat nasional.

Personalitas politik yang tergambarkan sedemikian rupa piawai itu, kini justru bergeser menuju pendulum yang buruk. Melalui wawancara di Metro TV pada 19 Juli 2011 Nazaruddin berbicara tentang posisi Anas sebagai otak besar di balik seluruh kisruh yang terjadi dalam tubuh Partai Demokrat kini. Anas dieksplisitkan sebagai perancang skenario agar rantai korupsi yang melibatkan elite-elite Partai Demokrat berhenti cukup di Nazaruddin saja pengusutannya. Atas dasar skenario itu pula Anas meminta Nazaruddin menyingkir sementara waktu ke luar negeri hingga tiga tahun kemudian, saat publik mulai melupakannya.

Dentuman kata-kata yang dikemukakan Nazarudin melalui wawancara Metro TV itu, bisa dengan sangat mudah dibantah oleh pihak Anas. Tetapi sulit dielakkan, bahwa setiap ucap kata yang menghablur ke ruang publik memiliki arkeologinya tersendiri. Apalagi, jika ucap kata yang menghablur ke ruang publik itu dicermati banyak orang dan dikomentari kalangan pengamat. Personalitas politik sang Ketua Umum Partai Demokrat sungguh coreng-moreng karenanya.

Kisruh dalam tubuh Partai Demokrat sejauh ini terkait erat dengan posisi Nazaruddin sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang. Nazaruddin lalu membeberkan posisi sejumlah elite Partai Demokrat yang turut kecipratan korupsi proyek tersebut. Dan sebagaimana kemudian mencuat di media massa, elite-elite Partai Demokrat menyangkal fakta korupsi yang dibeberkan Nazaruddin itu. Masalahnya, pernyataan dan penyangkalan secara telak meruntuhnya citra Partai Demokrat.

Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, sesungguhnya Anas kini berada dalam satu titik pertaruhan yang tak sederhana. Seperti umumnya elite Partai Demokrat, ia bisa menggunakan segala macam argumentasi penyangkalan terhadap semua cerita buruk versi Nazaruddin. Tetapi berbeda dari elite Partai Demokrat yang lain, Anas kini tengah tercabik integritas pribadinya. Nazaruddin justru mengonfirmasi, bahwa Anas pun merupakan sosok politikus yang turut pula berlepotan suap dan korupsi.

Ketika pada 2010 memenangi pertarungan merebut posisi Ketua Umum dalam konggres Partai Demokrat di Bandung, Anas ditengarai sebagai tokoh muda fenomenal. Kegagalan tokoh-tokoh muda sebelumnya mencalonkan diri sebagai presiden (Rizal Malarangeng), merebut pucuk kepemimpinan Golkar (Yuddy Chrisnandi), merebut pucuk kepemimpinan NU (Ulil Abshar-Abdalla), telah mencetuskan pesimisme terhadap posisi kaum muda dalam kancah kepemimpinan nasional pasca-Orde Baru.

Melalui kemenangannya merebut posisi Ketua Umum Partai Demokrat, tak pelak lagi, Anas dipersepsi banyak orang sebagai figur yang mampu membuka lanskap kepemimpinan politik kaum muda pada kurun waktu pasca-Orde Baru. Anas lalu tampil sebagai ikon berkenaan dengan adanya bobot tertentu kaum muda untuk turut serta mengendalikan kepempimpinan, bahkan kepemimpinan partai politik terbesar hasil Pemilu 2009. Maka, Anas mengukuhkan sebuah personalitas politik yang sepenuhnya mengekspresikan relevansi kehadiran kaum muda dalam kepemimpinan politik kontemporer di Indonesia.

Tetapi bombardir kata-kata M. Nazaruddin di media massa telah memporak-poranda personalitas Anas Urbaningrum. Bersuara dari negara lain melalui medium komunikasi dan penyiaran, Nazaruddin membeberkan ke hadapan publik Indonesia sisi kelam personalitas Anas Urbaningrum. Dalam diri seorang Anas ternyata tidak termaktub otentisitas kejujuran melalui purifikasi diri dari dana-dana suap dan korupsi. Ucap kata penuh sopan santun, bukanlah refleksi sesungguhnya terbebaskannya Anas Urbaningrum dari dana-dana haram hasil suap dan korupsi.

Apa lalu yang penting digarisbawahi dari sosok Anas Urbaningrum yang ternyata tidak steril dari dana-dana suap dan korupsi? Bagaimana pula memahami pembeberan fakta oleh Nazaruddin bahwa Anas menggelontorkan uang hingga US$ 20 juta [dari hasil suap dan korupsi] untuk menguasai tampuk kepemimpinan Partai Demokrat?

Diakui atau tidak, kaum muda masih tergagap-gagap saat diharapkan mampu mengonstruksi suatu model kepemimpinan politik yang sepenuhnya steril dari suap dan korupsi. Dengan personalitas politiknya yang semula tampak anggun, Anas Urbaningrum toh sama saja dengan para seniornya pada kancah kepemimpinan politik nasional. Anas tidak cukup berkarakter untuk sungguh-sungguh meneguhkan dirinya sebagai pemimpin politik yang bukan saja muncul dari keharibaan kaum muda, tapi sekaligus bebas suap dan korupsi.

Tak pelak lagi, personalitas politik semacam ini justru kian mengentalkan pesimisme publik terhadap makna kepemimpinan kaum muda dalam kancah politik Indonesia kontemporer untuk sepenuhnya mengamputasi karma suap dan korupsi. Memang, masih terbersit harap di benak publik agar segera hadir pemimpin politik yang sungguh-sungguh jujur dan berintegritas dari kalangan kaum muda. Tapi sang pemimpin yang didamba itu, belum tersedia untuk saat ini. Belum.[]

Artikel ini dimuat di harian Media Indonesia, 22 Juli 2011, hlm. 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar