Kamis, 07 Juli 2011

Catatan Kebudayaan | Nomor 1, Tahun 2011 | "Masa Depan PPP"

MASA DEPAN PPP

Oleh
Anwari WMK

Dalam Muktamar ke-7 di Bandung, Juli 2011, Suryadharma Ali kembali terpilih menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), untuk periode kepengurusan 2011-2016. Seperti diprediksi sebelumnya, Suryadharma Ali memenangkan pertarungan dan kembali berada di tampuk pimpinan PPP. Dengan realitas ini berarti, orientasi politik PPP untuk jangka waktu lima tahun ke depan takkan banyak bergeser jauh dari situasi dan perkembangan PPP selama kurun waktu lima tahun sebelumnya. Itulah mengapa, diskusi tentang masa depan PPP dapat mengambil titik tolak dari analisis terhadap keberadaan PPP selama jangka waktu lima tahun terakhir. Pada titik ini pula tak berlebihan manakala disimpulkan, bahwa lima tahun ke depan merupakan periode konservatif bagi PPP di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali. Artinya, takkan terjadi terobosan politik yang bersifat spektakuler dari keberadaan PPP dalam orkestrasi kepemimpinan Suryadharma Ali.

Sebagai partai politik, PPP sesungguhnya memiliki faktor kesejarahan yang menarik untuk disimak secara saksama. Pada kelembagaan politik PPP termaktub arkeologi politik yang diwarnai oleh aura pergumulan kekuasaan dalam jangka panjang. Bersama Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), PPP lahir dan mengukuhkan eksistensinya pada kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Tiga partai politik yang secara riil berfungsi sebagai pilar penopang kekuasaan Orde Baru sejak paruh pertama dekade 1970-an adalah Golkar, PPP dan PDI. Ketika rezim kekuasaan Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi nasional pada 1998, PPP masih tetap bertahan hidup sebagai kekuatan politik. Secara demikian, PPP merupakan partai politik lama di belantika kekuasaan Indonesia kontemporer.

Selama kurun waktu Orde Baru, PPP diskenariokan sedemikian rupa menjadi partai politik yang berfungsi penampung aspirasi umat Islam di Indonesia. Sekali pun diharuskan berazas Pancasila sejak medio 1980-an, ternyata PPP mendedahkan dirinya [dan mendapatkan restu dari rezim kekuasaan Orde Baru] untuk tampil sebagai satu-satunya partai politik Islam. Sangat bisa dimengerti jika kelahiran PPP pada tahun 1973 berlatar-belakang fusi partai-partai Islam ke dalam partai tunggal yang kemudian berlambang Ka'bah. Kelahiran PPP tak dapat dilepaskan dari korporatisme rezim kekusaan Orde Baru hingga kemudian bersinggungan secara langsung dengan rekayasa politik menuju terjadinya penciutan jumlah partai politik Islam. Mengacu pada pandangan tentang bahaya polarisasi politik yang pada giliran selanjutnya diasumsikan mengganggu proses pembangunan ekonomi nasional, maka rezim kekuasaan Orde Baru hanya membolehkan adanya satu partai politik Islam. Di situlah lalu PPP mendapatkan momentum untuk lahir dan mempertahankan eksistensinya, bahkan hingga dewasa ini.

Tetapi selama perjalanan historisnya sebagai partai Islam, PPP berada dalam situasi krusial. Hubungan antara PPP dan aspirasi Islam merupakan hubungan yang cair, bahkan cenderung pragmatis dan tidak berpijak pada fundamen ideologis yang clear and distinct. Islam dalam perspektif PPP tidak melahirkan kesadaran emansipatoris pada keseluruhan kerja-kerja politik. PPP pun tidak memiliki spirit dan mekanisme untuk merefleksikan secara kritis segenap kepelikan umat Islam dalam menjalani kehidupan yang senantiasa berhadapan dengan negara. Sejalan dengan tradisi politik yang dijalankan, PPP hanya memahami umat Islam semata dalam pengertian statistik demografis, bukan umat Islam yang tercabik eksistensinya dan lantaran itu harus diselamatkan melalui kerja-kerja polilk. Umat Islam dalam perspektif PPP adalah penduduk beragama Islam yang memiliki hak suara dalam pemilihan umum. Apakah umat Islam sebagai konstituen itu diperhadapkan pada tantangan hidup berdimensi struktural, tidaklah penting bagi PPP.

Tradisi politik itulah yang dapat menjelaskan, mengapa saat Orde Baru tumbang dan berdampak serius pada munculnya partai-partai politik baru berlabel Islam, pelan tapi pasti PPP mulai ditinggal pemilihnya. Dengan tradisi politik semacam itu pula, PPP merupakan partai politik berumur tua tetapi tak memiliki figur ideolog yang berwibawa dan sekaligus otoritatif mengarahkan perjalanan PPP ke depan berdasarkan kerangka ideologis pembelaan terhadap kaum tertindas. PPP juga mengembangkan tradisi politik merangkul kiai dari kalangan pesantren. Tetapi, tidak ada visi transformatif dengan mengedepankan peran kiai sebagai agen perubahan sosial. Kalangan kiai dirangkul oleh PPP semata dalam kedudukannya sebagai vote gatter. Peran sosiologis kiai direduksi sekadar sebagai penggiring umat agar mencoblos PPP saat berlangsung perhelatan lima tahunan Pemilihan Umum.

Pada era kepemimpinan Suryadharma Ali dalam kurun waktu lima tahun terakhir, PPP tidak beranjak jauh dari establishment tadisi politik sebagaimana digambarkan di atas. PPP Tidak memiliki corak responsi yang relevan dengan keniscayaan transformasi sosio-kultural kehidupan umat Islam Indonesia [dengan institusi partai politik sebagai pengawalnya]. Keterbelakangan dan ketertinggalan umat Islam dalam berbagai sektor kehidupan tidak mendapatkan penanganan secara memadai dari institusi politik PPP. Padahal, ketika sejak lima tahun lalu Suryadharma Ali tampil mengendalikan pucuk pimpinan PPP, sesungguhnya telah hadir serangkaian model tata kelola kemasyarakatan Islam yang berwatak terbuka dan fleksibel untuk melakukan terobosan. Dengan ditopang oleh lompatan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, sistem kemasyarakatan Islam bukan saja terbuka menerima ide-ide kemajuan, tetapi juga siap berperan sebagai domain berlangsungnya inovasi sosial. Peluang emas ini diterbengkalaikan oleh PPP selama lima tahun terakhir ini.

Apa yang lalu penting dikatakan dalam konteks masa depan PPP, terkait dengan empat hal.

Pertama, PPP akan membangkitkan memorabilia kiai dalam politik. Suryadharma Ali bakal kian mengukuhkan setting PPP sebagai rumah besar bagi kalangan kiai. Diaspora kiai ke berbagai partai politik Islam yang terjadi sejak munculnya sistem politik multipartai pada era pasca Orde Baru, akan diupayakan sedemikian rupa memasuki fase titik balik melalui pengkondisian PPP sebagai rumah besar bagi kalangan kiai. Sungguh pun demikian, kiai akan tetap dikotakkan ke dalam banalitas peran politik, yaitu semata didudukkan sebagai vote gater. PPP takkan mengawal terjadinya perubahan secara fundamental peran sosiologis kiai menjadi agen perubahan sosial. Dengan demikian berarti, tetap tak ada garansi bahwa kehidupan umat Islam akan menjadi lebih baik di bawah panji-panji perpolitikan PPP dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Kedua, klaim PPP sebagai representasi Islam di Indonesia masih akan terdedahkan ke atas permukaan semata sebagai gelembung-gelembung retorika tanpa makna. Hingga kini PPP belum memiliki kapasitas yang memadai untuk mengobyektivikasi secara jernih problema-problema mendasar yang dihadapi umat Islam. Ketiadaan kapasitas inilah yang tak memungkinkan PPP mampu menditeksi secara cepat mana dari tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam berdimensi struktural lantaran berasal muasal dari salah kelola negara. Kerja-kerja politik PPP untuk lima tahun ke depan masih belum memungkinkan terciptanya solusi masalah secara konkret. Umat Islam masih akan dihantam oleh masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, sekali pun PPP tak pernah surut dari klaim sebagai saluran aspirasi umat Islam.

Ketiga, PPP ternyata rentan untuk terseret masuk ke dalam rezim kekuasaan neoliberalistik. Terakomodasinya kader-kader PPP ke dalam rezim kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan fakta yang terang benderang betapa PPP begitu mudahnya terseret ke dalam pusaran neoliberalisme. Tak dapat dibantah, rezim kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bercorak neoliberalistik. PPP semestinya menegasikan keberadaan rezim kekuasaan neoliberalistik, sebab rezim kekuasaan semacam itu merupakan mesin yang terus-menerus mereproduksi ketidak-adilan oleh terlampau besarnya keberpihakan kepada perekonomian pasar bebas. Berkaca pada kenyataan ini, maka tak berlebihan manakala disimpulkan bahwa ke depan PPP sangat mudah diringkus secara politis menjadi pilar menyokong rezim kekuasaan neoliberalistik. Dengan kata lain, PPP potensial masuk ke dalam pusaran rezim kekuasaan antikerakyatan. Sebagai partai Islam, PPP membeku sebagai ironi dan paradoks.

Keempat, PPP akan menapaki perjalanan lima tahun ke depan sebagai partai pragmatis namun tampil dengan wajah Islam. Perpolitikan PPP ke depan takkan membawa otentisitas perjuangan dan pengorbanan demi terwujudnya kesehteraan umat. Seperti partai politik yang lain, PPP merupakan tempat bersemayam para pemburu kekuasaan yang kosong dari kepedulian terhadap amanat penderitaan rakyat. PPP sama pragmatisnya dengan partai-partai sekuler.

Demikianlah panorama PPP di masa depan. Panorama yang sesungguhnya menyedihkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar