Rabu, 13 Juli 2011

Catatan Kebudayaan | Nomor 2, Tahun 2011 | "Dekadensi Pemerintahan"

DEKADENSI PEMERINTAHAN

Oleh
Anwari WMK

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi (13 Juli 2011) mengakui adanya suatu fakta yang secara kasat mata menggambarkan terjadinya dekadensi pemerintahan di Indonesia. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di 116 kabupaten/kota, belanja aparaturnya mencapai lebih 60%. Dengan demikian berarti, beban pengeluaran APBD untuk membayar aparatur daerah berada dalam outstanding lebih besar dibandingkan dengan anggaran pembangunan. Sebagai elemen penyerap anggaran, aparatur pemerintahan di daerah mengambil porsi paling besar dari APBD.

Konsekuensi logis yang secara langsung dirasakan sebagai problema ekonomi politik ialah tidak signifikannya APBD berperan sebagai instrumen terciptanya kesejahteraan rakyat. APBD malah hanya memperbesar pundi-pundi aparatur pemerintahan daerah. Kehendak untuk membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan berlandaskan kerangka kerja sistem fiskal lalu tak dapat disandarkan pada APBD. Bahkan APBD merupakan wujud kongkret dari terjadinya dekadensi pemerintahan di daerah.

Sebuah kesimpulan menyebutkan, terus bertambahmya jumlah pegawai di jajaran pemerintahan daerah merupakan sebab pokok timbulnya persoalan lebih besarnya belanja APBD untuk membayar aparatur ketimbang untuk mendukung program pembangunan. Tragisnya, besarnya jumlah pegawai tidak berbanding lurus dengan tingginya kinerja. Pegawai tanpa keahlian, miskin kompetensi serta tak memiliki keterampilan justru hadir memenuhi jejaring pemerintahan daerah.

Rakyat lalu merasakan, betapa jejaring pemerintahan di daerah merupakan sumber pokok timbulnya ketidakadilan. APBD bahkan berkembang menjadi faktor tercetusnya antagonisme antara rakyat dan pemerintahan di daerah. Apa yang kemudian mendesak dilakukan adalah reformulasi pemerintahan daerah. Otonomi dan desentralisasi pemerintahan yang berjalan sejak era pasca-Orde Baru harus ditinjau secara kritis. Selama rakyat tidak mendapatkan manfaat dari otonomi dan desentralisasi, maka selama itu pula otonomi dan desentralisasi dimengerti sebagai persoalan yang harus dipecahkan.

Agenda yang kemudian niscaya dilakukan adalah menciptakan dan lalu mengukuhkan kultur pelayanan pada keseluruhan jejaring pemerintahan daerah. Penanda paling fundamental dari adanya kultur pelayanan itu adalah lebih besarnya belanja modal ketimbang belanja rutin dalam totalitas APBD. Filosofi yang kemudian niscaya hadir mendasari agenda tersebut adalah menghapus tendensi yang hanya menjadikan jejaring pemerintahan daerah ranah yang sepenuhnya terdegradasikan sebagai lapangan kerja. Pemerintahan daerah mutlak diarahkan menjadi lapangan pengabdian untuk sepenuhnya melayani rakyat.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar