Minggu, 17 Juli 2011

Catatan Kebudayaan | Nomor 3, Tahun 2011 | "Universitas Neoliberalistik"

UNIVERSITAS NEOLIBERALISTIK

Oleh
Anwari WMK

Di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) muncul nomenklatur berkenaan dengan tanggung jawab finansial kalangan mahasiswa baru. Nomenklatur dimaksud adalah "Sumbangan Pengembangan Potensi Akademik". Dengan nomenklatur semacam ini seakan muncul hal positif. Bahwa setiap mahasiswa diperlakukan memiliki potensi akademik. UGM sebagai institusi pendidikan tinggi lalu mengemban tugas mengukuhkan potensi akademik tersebut melaui beragam proses perkuliahan. Sehingga setiap mahasiswa diskenariokan sedemikian rupa tertransformasi menjadi sosok mumpuni sesuai dengan disiplin ilmu yang dipilih. Atas dasar itu, UGM mendapatkan pembayaran dari kalangan mahasiswa baru. Inilah sebuah model pembayaran yang manakala ditilik sepintas lalu tampak elegan.

Tetapi manakala dicermati dengan sungguh-sungguh, UGM sebenarnya tengah merajut suatu model relasi bercorak neoliberalistik. Publik dalam maknanya sebagai mahasiswa baru dikondisikan menjadi tumbal pengorbanan yang tak terelakkan dari terbentuknya relasi berorientasi neoliberalistik. Atas dasar itu pula, UGM pun turut bermetamorfosis menjadi universitas negeri yang komersialistik. Mahasiswa baru ilmu-ilmu sosial, misalnya, dikenakan kewajiban membayar Sumbangan Pengembangan Potensi Akademik sebesar Rp 20.000.000 hingga Rp 50.000.000. Bahkan, Sumbangan Pengembangan Potensi Akademik untuk mahasiswa baru kedokteran, hingga berada pada kisaran Rp 100.000.000 (Tempo Interaktif, 15 Juli 2011).

Memang, dibandingkan Universitas Indonesia (UI) atau Universitas Diponegoro (Undip), UGM tidak terlampau mahal menetapkan Sumbangan Pengembangan Potensi Akademik. Mahasiswa baru Fakultas Kedokteran di UI diharuskan membayar hingga di atas Rp 500.000.000. Sementara, mahasiswa baru kedokteran di Undip membayar hingga Rp 300.000.0000. Dengan demikian, semuanya menetapkan volume pembayaran jauh melampaui ketetapan yang diberlakukan UGM. Tetapi UGM merupakan referensi untuk melihat gradasi atau derajat kemerosotan universitas-universitas negeri ke dalam kubangan neoliberalistik. Jika UGM saja telah terperosok ke dalam kubangan neoliberalistik, apatah lagi universitas negeri terkemuka lainnya.

Orientasi neoliberalistik yang dimaksudkan dalam tulisan ini berhubungan erat dengan dua dimensi penting, yaitu modal kultural dan modal sosial yang melekat pada totalitas eksistensi universitas-universitas negeri. Modal kultural adalah seluruh potensi intelektual yang inherent ke dalam orang per orang kalangan mahasiswa diri berbagai macam latar belakang. Sedangkankan modal sosial adalah segenap pengalaman universitas negeri dalam hal memperkuat cadangan ilmu. Baik pengembangan modal kultural maupun pengembangan modal sosial mempersyaratkan diberlakukannya pendekatan-pendekatan humanistik yang steril dari desakan-desakan komersialistik. Manifestasi paling kongkret dari pendekatan humanistik itu ialah masyarakat memikul biaya rendah saat mengenyam pendidikan di universitas-universitas negeri.

Orientasi neoliberalistik yang kini bergulir kencang di universitas-universitas negeri memunculkan banyak persoalan.

Pertama, terjadi keruntuhan modal kultural di universitas-universitas negeri oleh tak terakomodasinya anak-anak pandai dari kalangan keluarga miskin. Padahal, anak-anak pandai dari kalangan keluarga miskin telah meninggalkan jejak elan vital kerja keras berkenaan dengan proses penguasaan ilmu. Cadangan ilmu yang makin akumulatif di universitas-universitas negeri selama ini tak dapat dilepaskan dari "arkeologi" kerja keras mahasiswa-mahasiswa miskin dalam pergumulan menguasai ilmu. Jika ternyata semakin berorientasi neoliberalistik, maka universitas-universitas negeri akan kehilangan modal kulturalnya.

Kedua, orientasi neoliberalistik hanya menjadikan universitas-universitas negeri komersialistik dalam pengertiaannya yang absurd. Sebab, sepenuhnya terobsesi meraih uang dalam jumlah besar dari kalangan mahasiswa berlandaskan model pengerukan profit seperti halnya korporasi-korporasi bisnis. Pada akhirnya, universitas-universitas negeri bergeser menjadi semacam trading house yang mengetalasekan puspa ragam ilmu pengetahuan untuk sekadar diperjual belikan layaknya komoditas. Univetsitas-universitas negeri lalu menjadi supermarket yang memperdagangkan segala macam ilmu.

Ketiga, substansi keilmuan yang tercakup dalam proses pembelajaran di universitas-universitas negeri kehilangan misi profetiknya dan punah dimensi otentisitasnya. Mengingat telah diturunkan derajatnya sekadar menjadi komoditas, maka ilmu pengetahuan kehilangan sukma emansipatorisnya. Ilmu pengetahuan lalu berhenti sebagai pedagogi untuk mendorong manusia menghargai manusia lain justru agar tercipta kebebasan dan kebahagiaan hakiki. Lantaran sedemikian jauh diberlakukan sebagai komoditas, maka ilmu pengetahuan bermetamorfosis menjadi alat pemukul bagi seseorang untuk meluluhlantakkan orang lain. Ilmu pengetahuan berubah menjadi killing machine.

Keempat, orientasi neoliberalistik menjerumuskan universitas negeri ke dalam titik nadir relasi dengan elemen-elemen kaum marginal pada bangsa ini. Bukan saja kian menjauh dari jangkauan kaum marginal, lebih dari itu universitas negeri kian teralienasi dari segenap spektrum yang melingkupi keberadaan kaum marginal. Melalui pelaksanaan tanggung jawab kemanusiaan, universitas negeri semestinya berfungsi sebagai wahana pemberdayaan untuk tujuan pokok mengikis segenap keadaan agar tak tercipta kelas sosial marginal. Ternyata, universitas negeri abai terhadap situasi pencetus terciptanya kaum marginal. Seakan abadi dalam nestapa, kaum marginal terus berada dalam situasi tanpa peluang mendapatkan akses masuk universitas negeri.

Masihkah akan terus berasyik masuk dengan orientasi neoliberalistik? Silahkan saja kalau memang itu opsinya. Tetapi, jika opsi tersebut yang dipilih maka penguatan struktur finansial universitas negeri semakin tak bersentuhan dengan kegiatan penelitian yang begitu terbuka dikerjasamakan dengan masyarakat industri. Ekonomi pendidikan dalam konteks universitas negeri lalu semakin menjauh dari peluang terbentuknya research university.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar