Senin, 15 Agustus 2011

Catatan Kebudayaan | Nomor 5, Tahun 2011 | "Antara Ideologi dan Teknokrasi"

ANTARA IDEOLOGI DAN TEKNOKRASI

Oleh
Anwari WMK

Tanpa upaya saksama melandaskan diri pada ideologi dan teknokrasi, maka politik akan kian kehilangan makna menjawab problema besar kebangsaan abad 21. Sejalan dengan kuatnya harapan agar demokrasi berfungsi maksimal sebagai fundamen terciptanya kesejahteraan rakyat, politik justru harus memasuki fase reideologisasi. Sebab dengan ideologi, terbentuk Weltanschauung bagaimana masalah-masalah kebangsaan dimengerti hingga ke akar-akarnya. Dan melalui teknokrasi, berbagai preskripsi bercorak knowledge-based lebih mudah dirumuskan sebagai kerangka solusi mengatasi tantangan multidimensi.

Terhitung sejak munculnya karya Henry Aiken (1956), Morton White (1956), dan Daniel Bell (1960), memang tecetus satu kesimpulan umum berkenaan dengan berakhirnya ideologi. Sejak saat itu, para pemikir politik mulai melihat adanya dua model analisis. Pertama, "analisis ideologis", yang dikonklusikan sebagai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan politik kontemporer. Kedua, "analisis rasional" dalam konteks teknokrasi yang diasumsikan relevan dengan realitas politik mutakhir.

Seperti kemudian tak dapat dielakkan, perpolitikan dijalankan dengan berpijak pada asumsi the end of ideology. Agenda-agenda politik sedemikian rupa steril dari perjuangan ke arah terwujudnya cita-cita yang bersifat ideologis. Politik, dalam kaitan makna dengan modernisasi, dikelola semata mengacu pada pandangan yang bersifat pragmatis. The end of ideology lalu dirayakan sebagai momentum punahnya gagasan-gagasan besar dalam bidang politik.

Tetapi manakala disimak secara saksama, the end of ideology di negara-negara industri maju tidak muncul dalam ruang vakum. Dibutuhkan prasyarat-prasyarat spesifik yang memungkinkan sistem politik bergulir memasuki fase the end of ideology. Prasyarat dimaksud adalah kematangan teknokrasi yang sungguh-sungguh mewarnai dinamika sosial dan ekonomi. Melalui orde teknokratis yang telah matang itulah maka pergeseran pendulum lebih dimungkinkan mampu menggantikan analisis ideologis dengan analisis rasional.

Sementara itu, persoalan besar yang mengemuka di negara-negara berkembang tercermin pada pertanyaan: Seberapa tinggi sesungguhnya derajat teknokrasi yang inherent dalam dinamika sosial dan ekonomi? Apa implikasi yang akan timbul sebagai persoalan jika ternyata the end of ideology bergulir dalam sebuah situasi yang diwarnai oleh ketidakmatangan teknokrasi?

Indonesia merupakan contoh negara berkembang, di mana politik tanpa ideologi menemukan aksentuasinya secara gegap gempita. Tetapi dalam waktu bersamaan, teknokrasi belum mendapatkan tempat semestinya dalam pelataran sosial dan ekonomi. Aneh bin ajaib, politik tanpa ideologi lalu beriring sejalan dengan ketiadaan teknokrasi. Sebagai akibatnya, pragmatisme politik pada ranah kekuasaan tak dapat diimbangi oleh kedigdayaan teknokrasi.

Tak pelak lagi, Indonesia kini negara demokratis yang ditandai oleh kegagalan menciptakan kesejahteraan rakyat. Kegagalan ini bermula dari tata kelola politik tanpa ideologi dan realitas sosial ekonomi tanpa teknokrasi. Keluh kesah yang kian meluas kini: ketiadaan ideologi mengondisikan partai-partai politik tanpa kejelasan diferensiasi satu sama lain. Bersamaan dengan tak adanya teknokrasi, partai-partai politik menyongsong pelataran masa depan bangsa ini dengan membawa serta kepentingan-kepentingan super pragmatis.

Dalam dialektika demokrasi kini, Indonesia membutuhkan ideologi dan teknokrasi. Ideologi dibutuhkan sebagai landasan pijak menjawab tantangan globalisme berhadapan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Teknokrasi dibutuhkan, agar sepenuhnya tercipta kapasitas inovasi dan solusi masalah secara knowledge-based. Ideologi yang bersenyawa dengan teknokrasi itulah sesungguhnya opsi logis untuk keperluan mengawal demokrasi agar sepenuhnya mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Bertitik tolak dari kompleksitas yang tak terelakkan oleh adanya heterogenitas sosio-kultural, rekayasa politik di Indonesia tak mungkin menduplikasi pola yang berjalan di negara-negara maju, yaitu menggeser analis ideologis dengan analisis rasional. Dalam setting Indonesia, distingsi antara analisis ideologis dan analisis rasional tidaklah bersifat arbitrer. Keduanya sama-sama dibutuhkan agar demokrasi sepenuhnya mampu berfungsi sebagai landasan pijak bagi terciptanya kesejahteraan rakyat. Ketidakbermaknaan demokrasi kini mutlak diatasi oleh politik yang berpijak pada ideologi dan sekaligus bertakzim pada teknokrasi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar