Bunga Edelweiss
Sejengkal detik
menjelang tiba
Senja luruh di
perbukitan limang
Sulaeman duduk
menghadap utara
Menatap bukit
hamparan Edelweiss
Sepuak Burung
Nuri terbang
Menjelajahi pucuk
puncak Edelweiss
Seekor Burung
Nuri runduk
Menatap aorta
kelu Sulaeman
Angin berpusar
meluai jenjang
Merapal harapan beriak
kecemasan
Seekor Nuri terengkuh
makna
Segala menyegala
puspa jiwa
Sang Nuri lalu
berucap:
“Wahai Engkau,
Nabi Sulaeman
Kami, Burung
Nuri, saksi
Bahwa bersama
Ratu Bilqis
Bertahun-tahun
lamanya
Menjelang
semburat senja tiba
Menuntaskan
segenap tunas takdir
Elok purnama
keindahan sukma
Engkau menatap
hamparan Edelweiss”
Terdekap jiwa terlarung
perih
Hingga langit
terpilin lara
Sulaeman tak
menjawab apa-apa
Hanya kian
menatap, hamparan Edelweiss
Sang Nuri kembali
berucap:
“Wahai, Nabi
Sulaeman
Kami menangisi
kepedihanmu
Ratu Bilqis telah
kembali berjalan
Menggapai elok
kesempurnaan hayat
Menghiba dendang
tembang kasmaran
Di larik purna elegi
surgawi
Wahai Engkau,
Nabi kekasih Allah
Sendiri kini
dirimu terpaku kelu
Meruai tatap
hamparan Bunga Edelweiss.”
Senja kian
bergulir lempang
Di kedalaman
sukma pengelana makna
Sepuak Burung
Nuri bertangisan
Merapal duka
sendu Sulaeman.
Nabi Sulaeman sebatas
mampu menatap
Tongkat berputih
ruai sendu
Airmata membasahi
jelujur tongkat
Airmata dirinya,
. . . . . . untuk Bilqis
(2018)
Anwari WM
Kamandanu
Catatan:
Peristiwa yang
tertuang ke dalam larik-larik puisi ini terjadi pada 15 Desember 2156 SM, di
Tunisia Barat Daya. Ratu Bilqis wafat pada 21 Maret 2154 SM, di Tunisia Barat
Daya, dalam usia 385 tahun, 2 bulan, 13 hari. Pada 15 Desember 2156 SM, usia
Nabi Sulaeman telah mencapai 406 tahun. Nabi Sulaeman wafat dalam usia 525
tahun, di Damascus, Syiria.